@misc{10.35497/270473, author = {Novani Karina Saputri and Hizkia Respatiadi}, title = {Reformasi Kebijakan untuk Menurunkan Harga Gula di Indonesia}, publisher = {Center for Indonesian Policy Studies}, day = {11}, month = {10}, year = {2018}, abstract = {Pada paruh pertama tahun 2018, produktivitas tebu di Indonesia menurun sebesar 2,56 ton/ha sementara tingkat rendemennya menurun sebesar 0,36% dibandingkan tahun 2017. Sementara itu, permintaan gula terus meningkat, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan konsumsi per kapita yang lebih dari 22% dari tahun 2009 hingga 2017. Perpaduan produktivitas yang lebih rendah dan permintaan yang lebih tinggi berkontribusi terhadap harga gula kristal putih yang tinggi—harga dalam negeri hampir tiga kali lipat dari harga pasar internasional pada bulan Agustus 2018. Harga tinggi berdampak pada konsumen maupun industri makanan dan minuman. Hal ini juga memengaruhi mereka yang bekerja di sektor pertanian karena dua pertiga dari mereka sejatinya adalah konsumen yang turut dirugikan dengan harga gula yang mahal. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas gula nasional melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 53 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 50 Tahun 2012 belum mencapai hasil yang diharapkan. Pelaksanaan sistem kuota dan membatasi izin impor hanya untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117 Tahun 2015 turut memperburuk situasi. Pembatasan akses ke pasar melalui proses pemberian lisensi impor yang tidak transparan membuat pasar gula Indonesia menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, impor tidak dapat menurunkan harga gula untuk membantu konsumen di Indonesia. Kami mengusulkan dua langkah reformasi kebijakan guna menurunkan harga gula sembari memberikan waktu yang cukup bagi para pemangku kepentingan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru. Pertama, dalam kurun lima tahun, pemerintah sebaiknya merevisi Permendag 117/2015 Pasal 5 (2) tentang perizinan impor guna memberikan akses bagi perusahaan swasta yang memenuhi syarat untuk mengimpor gula. Revisi ini harus mencakup proses perizinan yang lebih transparan guna mencegah praktik kartel oleh BUMN maupun importir swasta. Konsumen akan menikmati lebih banyak pilihan saat membeli gula berkat meningkatnya jumlah importir. Pada tahap pertama reformasi ini, kuantitas gula yang diimpor akan tetap di bawah kendali pemerintah untuk membatasi dampaknya pada harga tebu para petani di dalam negeri. Tahap pertama mungkin tidak memadai untuk menurunkan harga gula bagi konsumen dan sekaligus menjaga harga tebu tetap tinggi untuk melindungi para petani tebu. Inilah sebabnya diperlukan reformasi tahap kedua. Dalam sepuluh tahun pertama reformasi, pemerintah harus memberikan dukungan bagi petani maupun pabrik gula, termasuk dengan mengaplikasikan praktik penanaman yang lebih baik dan memutakhirkan teknologi yang digunakan. Di sisi lain, dukungan ini perlu disertai dengan target spesifik terhadap peningkatan produktivitas yang harus dicapai. Setelah sepuluh tahun pertama ini, pemerintah sebaiknya menghapus kuota impor yang ditetapkan dalam Permendag 117/ 2015 Pasal 3 sehingga impor dapat memenuhi kebutuhan pasar di Indonesia. Jangka waktu ini seharusnya memberikan waktu yang cukup kepada petani dan industri gula nasional untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan dengan gula impor. Reformasi ini akan menghasilkan pasar gula yang lebih kompetitif dengan harga gula yang lebih terjangkau bagi konsumen Indonesia.}, doi = {10.35497/270473}, }