@misc{10.35497/271874, author = {Hizkia Respatiadi and Sugianto Tandra}, title = {Memerangi Alkohol Ilegal : Prioritas Kebijakan di Bandung, Jawa Barat}, publisher = {Center for Indonesian Policy Studies}, day = {1}, month = {5}, year = {2018}, abstract = {Pada April 2018, seratus penduduk Indonesia tewas karena mengonsumsi alkohol ilegal. Mayoritas korban merupakan penduduk Bandung Raya, Jawa Barat. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menemukan bahwa dalam 10 tahun terakhir, korban jiwa akibat konsumsi alkohol ilegal di Bandung Raya hampir 5 kali lebih tinggi daripada wilayah lainnya di Indonesia. Dari tahun 2008 hingga 10 April 2018, jika dirata-rata, ada 16,3 kasus kematian akibat alkohol ilegal dalam setiap 1 juta penduduk di Bandung Raya, sementara “hanya” ada 3,40 kasus kematian dalam setiap 1 juta penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah mengendalikan distribusi minuman beralkohol melalui bea impor dan cukai yang tinggi. Semua penjualnya harus memilki izin dan dilarang menjual kepada orang di bawah usia 21 tahun. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 06/2015 juga melarang penjualan minuman beralkohol di toko kelontong modern/minimarket maupun toko serba ada/convenience store. Terdapat lebih dari 150 peraturan daerah yang membatasi distribusi dan konsumsi alkohol, termasuk Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung 11/2010 yang melarang penjualan alkohol di sekitar lingkungan tempat ibadah, sekolah dan rumah sakit. Sayangnya, peraturan pemerintah tidak efektif dalam melindungi konsumen Indonesia dan justru harus dilihat sebagai faktor yang menyebabkan munculnya pasar gelap. Survei CIPS di awal tahun 2018 menunjukkan bahwa 45% dari responden mendapatkan alkohol mereka melalui warung-warung yang tidak memiliki izin. Peminum di bawah umur juga menjadi masalah, sebagaimana ditunjukkan oleh 21% responden survei yang berusia 14 – 20 tahun. Jumlah konsumsi alkohol di Indonesia bukanlah masalah utama. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasi tingkat konsumsi alkohol di Indonesia tergolong rendah, yaitu 0,6 liter per orang per tahun. Permasalahannya justru terletak pada alkohol ilegal yang proporsinya mencapai 80% dari total konsumsi alkohol nasional (WHO, 2014). Survei CIPS menemukan bahwa 41% peminum alkohol di Bandung mengonsumsi alkohol ilegal berjenis “oplosan”, yang merupakan campuran berbahaya dari bahan-bahan yang berpotensi mematikan. Penegakan hukum yang lebih tegas diperlukan guna memerangi alkohol ilegal dan mencegah peminum di bawah umur. Namun, penegakan hukum saja tidaklah cukup. Pasar gelap alkohol ilegal akan terus ada jika pemerintah terus menutup akses dan keterjangkauan alkohol legal. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menurunkan cukai dan bea impor sehingga harga alkohol legal lebih terjangkau. Pemerintah pusat seyogyanya juga mencabut larangan penjualan alkohol di minimarket maupun toko serba ada. Selain itu, pemerintah daerah, termasuk Bandung, juga sebaiknya mengkaji kembali larangan alkohol di daerah mereka masing-masing. Meningkatkan aksesibilitas dan keterjangkauan alkohol legal tidak hanya akan menggantikan satu jenis alkohol dengan jenis lainnya. Alkohol legal hanya berisiko tinggi jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, yang mana bukan merupakan sesuatu yang umum di Indonesia. Sebaliknya, alkohol ilegal, walaupun hanya dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit, menyimpan risiko besar akibat bahan-bahan yang berpotensi mematikan yang terkandung di dalamnya. Pergeseran ke alkohol legal justru dapat menyelamatkan banyak nyawa.}, doi = {10.35497/271874}, }