@misc{10.35497/284674, author = {Indra Krishnamurti and Arief Nugraha and Mercyta Jorsvinna Glorya}, title = {Mengoptimalkan Penggunaan Tanah Kas Desa: Studi Kasus Lima Desa di Jawa Tengah}, publisher = {Center for Indonesian Policy Studies}, day = {9}, month = {7}, year = {2019}, abstract = {Tanah kas desa awal mulanya muncul saat era kolonial dan biasanya terdiri dari beberapa hektare lahan yang berada di bawah pengawasan pemerintah desa. Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 memberikan desa-desa wewenang untuk mengelola aset mereka (termasuk tanah kas desa) untuk kesejahteraan bersama dan untuk dimanfaatkan bagi kelompok yang paling rentan di desa tersebut. Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2016 menetapkan tiga format penggunaan tanah desa: sewa, kerja sama dalam bentuk usaha bersama (joint venture), dan perjanjian Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG). Tanah adalah sumber daya strategis di pulau Jawa, Indonesia, karena pulau ini memiliki populasi desa yang besar. Kebanyakan ukuran sebidang tanah untuk tanah pertanian umumnya kecil dan hampir tidak mampu memberikan jaminan hidup bagi pemiliknya serta semakin banyak yang diubah kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan industrial dan infrastruktur. Untuk alasan ini, memastikan penggunaan tanah kas desa dengan optimal merupakan tujuan kebijakan yang penting. Desa Sidomulyo dan Bonorowo di Kabupaten Kebumen telah mengimplementasikan format sewa untuk tanah desa mereka yang disewakan kepada keluarga petani yang miskin. Desa Tlogojati dan Beran di Kabupaten Wonosobo melakukan kerja sama bisnis, sementara desa Sukoharjo di Kabupaten Wonosobo mengimplementasikan format BGS ketika membangun dan mengoperasikan pasar lokal. Analisis perbandingan terhadap pengalaman di lima desa ini menunjukkan bahwa penyewaan lahan ke petani di Sidomulyo dan Bonorowo mendatangkan pendapatan bruto terendah bagi penyewa—antara Rp2,6 juta dan Rp2,8 juta per tahun, di mana jumlah tersebut masih harus dikurangi lagi dengan biaya input, biaya sewa, dan biaya pekerja. Pendapatan dari kerja sama dengan perkebunan teh di Tlogojati menghasilkan pendapatan sebanyak tiga kali lipat lebih banyak, dan usaha kecil di Beran memberikan penghasilan lebih dari 20 kali lipat dibandingkan pendapatan penyewa. Maka dari itu, kami merekomendasikan Pasal 14-16 Permendagri Nomor 1 Tahun 2016, yang menetapkan kerja sama dalam bentuk usaha bersama danBSG/BGS hanya dapat dipertimbangkan jika anggaran desa tidak mencukupi, untuk dihilangkan. Alih-alih, sebaiknya peraturan yang dibuat dapat memperkenalkan paradigma baru untuk penggunaan tanah kas desa, yaitu dengan menggiatkan kewirausahaan desa. Upaya kewirausahaan bisa juga melibatkan peran sektor swasta, terutama ketika skala bisnis melampaui sumber daya yang dimiliki sebuah desa.}, doi = {10.35497/284674}, }