@misc{10.35497/326, author = {Hizkia Respatiadi}, title = {Penerapan Hutan Kemasyarakatan di Indonesia: Kisah dari Dua Desa}, publisher = {Center for Indonesian Policy Studies}, month = {6}, year = {2016}, abstract = {Amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa seluruh sumber daya dan kekayaan alam berada di bawah kekuasaan negara. Meskipun ketentuan hukum menempatkan otoritas terhadap sumber daya alam tersebut pada berbagai level pemerintahan, hak dan tanggung jawab untuk mengelola hutan tetap dipegang oleh institusi pemerintah selama bertahun-tahun lamanya. Hal ini ternyata tidak efektif dalam mengurangi tingkat deforestasi di Indonesia dan penduduk desa yang tinggal di sekitar hutan pun tetap hidup dalam kemiskinan. Tanpa adanya hak kepemilikan, akses, dan pengelolaan (property rights), mereka tidak dapat menikmati hasil sumber daya hutan secara legal dan pada akhirnya justru tergoda untuk berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya hutan secara ilegal seperti perburuan dan penebangan liar. Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah Indonesia secara bertahap menerapkan berbagai ketentuan tambahan dalam regulasi kehutanan Indonesia, termasuk memberikan hak bagi masyarakat setempat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Guna memperoleh hak untuk mengakses dan menggunakan sumber daya hutannya, para penduduk desa diharuskan untuk mendirikan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan berbagi hasil keuntungannya dengan pemerintah. Pemerintah berencana untuk memberikan konsesi kepada 33.000 desa di seluruh Indonesia sebagai bagian dari kebijakan Skema Perhutanan Sosial. Meski demikian, pemberian konsesi saja tidak akan mengurangi deforestasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, melainkan harus didukung oleh berbagai kegiatan pelengkap yang membantu penerapan kebijakan hutan kemasyarakatan tersebut. Kajian ini memaparkan pengalaman dua desa yaitu Desa Sembungan dan Desa Buntu di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Dua desa ini hanya terpisah jarak 10 km dan keduanya telah memperoleh hak secara parsial terhadap kepemilikan, akses, dan pengelolaan (partial property rights) melalui kebijakan hutan kemasyarakatan. Meski demikian, kedua desa ini memiliki cara yang berbeda dalam memanfaatkan kesempatannya dalam pengelolaan hutan. Ketika Desa Sembungan berhasil mengembangkan lokasi ekowisata yang berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan penduduknya, Desa Buntu justru masih mengalami kesulitan dalam memulai prakarsanya sendiri. Selain itu, desa ini juga sempat bersinggungan dengan Perum Perhutani yang beberapa waktu yang lalu pernah memiliki rencana untuk menebang pepohonan di dalam hutan di sekitar desa. Kedua studi kasus ini menyoroti pentingnya tiga area kegiatan yang melengkapi kebijakan hutan kemasyarakatan agar dapat memberikan manfaat yang diinginkan. Pertama, harus ada persamaan persepsi di antara para penduduk desa bahwa adanya berbagai perubahan yang ditimbulkan oleh pembangunan ekonomi dapat memberikan manfaat yang positif bagi desanya. Pengalaman positif yang dipelajari dari kisah-kisah sukses di desa-desa lain berpotensi untuk membantu membangun persepsi positif tersebut. Kedua, diperlukan adanya program peningkatan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan para warga desa dalam bidang perencanaan, organisasi, keuangan dan pengelolaan sumber daya manusia di desanya masingmasing. Ketiga, desa-desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak eksternal, baik desa-desa tetangga, institusi pemerintah, maupun komunitas bisnis guna mendapatkan dukungan mereka dalam proyek-proyek pembangunan desa.}, doi = {10.35497/326}, }