Biaya Hambatan Non-Tarif pada Perdagangan Pangan dan Pertanian di Indonesia
Mayo 6, 2021  //  DOI: 10.35497/345259
Felippa Amanta

Metrics

  • Eye Icon 614 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 614 views  //  0 downloads
Biaya Hambatan Non\u002DTarif pada Perdagangan Pangan dan Pertanian di Indonesia Image
Abstract

Perdagangan internasional sektor pangan dan pertanian meningkat hingga lebih dari dua kali lipat sejak 1995 dan mencapai nilai US$ 1,5 triliun pada 2018. Indonesia diuntungkan oleh perdagangan itu, karena impor pangan dan pertanian mencapai nilai US$ 20 miliar dan ekspor sebesar US$ 37 miliar pada 2018. Indonesia mengimpor komoditas pangan seperti gandum, bawang putih, kacang kedelai, gula, dan daging sapi, serta mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif seperti kelapa sawit, kopi, kacang, rempah-rempah, dan produk pangan olahan. Meningkatnya daya saing industri makanan, minuman, dan tembakau menandakan
adanya potensi besar bagi Indonesia untuk bersaing di kancah dunia dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Meskipun perdagangan pangan sangat penting, Indonesia menerapkan hambatan non-tarif yang lebih ekstensif dalam perdagangan sektor pangan dan pertanian daripada negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Hambatan non-tarif adalah upaya kebijakan selain tarif yang diberlakukan untuk perdagangan internasional. Per Januari 2021, ada 466 hambatan non-tarif yang diberlakukan oleh delapan kementerian dan instansi pemerintah yang berbeda yang mengatur hamper semua produk pangan dan pertanian. Hambatan non-tarif ini menambah biaya pelaksanaan, pengadaan bahan baku, dan proses adaptasi untuk masuk ke usaha manufaktur makanan dan minuman (mamin), serta membatasi akses perusahaan ke pasar global, dan mengurangi produktivitas serta daya saing. Oleh karena itu, hambatan non-tarif bisa berlaku sebagai pembatasan yang mahal bagi perdagangan, bahkan memiliki pengaruh yang lebih besar daripada hambatan tarif. Dengan demikian, hambatan non-tarif juga mengganggu ketahanan pangan. Saat ini Indonesia hanya menduduki peringkat 65 dari 113 negara dalam Indeks Ketahanan pangan Global atau Global Food Security Index.

Undang-undang Omnibus tentang Cipta Kerja tahun 2020 merevisi Undang-Undang Pangan tahun 2012 menjadi kebijakan perdagangan pangan yang lebih terbuka. Akan tetapi, peraturan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan yang mengandung hambatan nontarif untuk impor pangan masih tetap berlaku. Upaya-upaya teknis seperti upaya sanitasi dan phytosanitary (SPS), hambatan teknis perdagangan (TBT), dan inspeksi pra pengiriman (PSI) meningkatkan biaya kepatuhan dan penyimpanan karena adanya inefisiensi dalam pelaksanaan hambatan non-tarif. Restriksi Kuantitatif atau Kuota (QR) yang diberlakukan melalui sistem perizinan impor yang tidak otomatis juga dikaitkan dengan keterlambatan impor karena proses yang rumit, sehingga menyebabkan kelangkaan pangan di pasar dan harga eceran domestik yang melesat naik.

Ada tiga perubahan yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi biaya hambatan non-tarif. Pertama, Kementerian Perdagangan harus memimpin penilaian komprehensif terhadap hambatan non-tarif yang ada. Regulatory Impact Assessments (RIA) atau Penilaian Dampak Regulasi seharusnya bisa mengklarifikasi biaya dan manfaat hambatan non-tarif tertentu, dan mengizinkan penghapusan regulasi yang memiliki biaya net besar. Kedua, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan perlu meningkatkan pembangunan infrastruktur dan sistem guna meminimalisasi biaya kepatuhan. Terakhir, Kementerian Perdagangan harus mulai menggunakan sistem perizinan impor otomatis yang mengganti sistem kuota guna memfasilitasi transparansi, prediktabilitas, dan kemudahan perdagangan.

Full text
Show more arrow
 

Metrics

  • Eye Icon 614 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 614 views  //  0 downloads