Perlindungan bagi Petani - Upaya Peningkatan Kualitas Program Perlindungan Sosial bagi Para Pekerja di Sektor Pertanian di Indonesia
Июнь 15, 2017  //  DOI: 10.35497/270472
Arianto A. Patunru, Hizkia Respatiadi

Metrics

  • Eye Icon 1266 views
  • Download Icon 1715 downloads
Metrics Icon 1266 views  //  1715 downloads
Perlindungan bagi Petani \u002D Upaya Peningkatan Kualitas Program Perlindungan Sosial bagi Para Pekerja di Sektor Pertanian di Indonesia Image
Abstract

Sektor pertanian memperkerjakan lebih dari 50 juta orang yang mencakup 34% dari total jumlah pekerja di Indonesia pada tahun 2014, lebih besar dibandingkan sektor jasa, dan menempati peringkat kedua setelah sektor industri. Sayangnya, sebagian besar dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan, atau hanya sedikit di atasnya. Di daerah-daerah lumbung padi seperti Indramayu di Jawa Barat, buruh tani yang tidak memiliki lahan hanya berpenghasilan sekitar Rp300.000 per bulan, dan petani kecil berpenghasilan kurang dari Rp600.000 per bulan dari hasil bertani. Terbatasnya peluang kerja di desa, sistem pengairan yang buruk, dan cuaca yang tidak dapat diprediksi turut menciptakan kondisi sulit di pedesaan. Akibatnya, penduduk desa memutuskan untuk berpindah ke kota, sebagaimana ditunjukkan oleh menurunnya persentase populasi desa jika dibandingkan dengan total populasi penduduk di Indonesia, dari 50% pada tahun 2010 menjadi hanya 46% pada tahun 2015.

Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah mengalokasikan dana yang memungkinkan petani untuk membeli benih, pupuk, dan beras dengan harga subsidi. Namun, sejumlah lembaga pemerintah mengakui bahwa bantuan ini tidaklah efektif. Meski menghabiskan alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahunan sebesar Rp52 triliun, produk subsidi yang tersedia berkualitas rendah dan sistem distribusi yang buruk berujung pada aktivitas pasar gelap. Hanya petani yang kaya dan memiliki koneksi yang diuntungkan oleh adanya program subsidi tersebut.

Terdapat sejumlah program yang lebih tepat sasaran, seperti program bantuan tunai bersyarat (Program Keluarga Harapan/PKH) serta bantuan untuk biaya kesehatan (Kartu Indonesia Sehat/KIS) dan pendidikan (Kartu Indonesia Pintar/KIP). Program-program ini lebih efektif karena secara langsung menargetkan mereka yang kurang mampu membiayai kebutuhan kesehatan dan pendidikannya. Sementara itu, program asuransi pertanian (Asuransi Usaha Tani Padi/AUTP) dapat meringankan risiko kehilangan penghasilan akibat gagal panen. Namun, program-program tersebut sulit untuk mencapai sasarannya akibat keterbatasan anggaran, mengingat dana yang
dialokasikan tak sampai separuh dari anggaran untuk subsidi pertanian.

Ada tiga hal yang berpotensi untuk menjadi solusi permasalahan ini. Pertama, pemerintah dapat mengalokasikan ulang dana dari subsidi pertanian dan mengalihkannya ke skema-skema PKH, KIS, KIP, dan AUTP yang lebih efektif. Program-program ini memiliki dampak lebih besar terhadap kesejahteraan penduduk dan mengurangi risiko petani kehilangan penghasilan. Pendekatan ini memerlukan perubahan paradigma, di mana pemerintah harus menyadarkan masyarakat bahwa subsidi hanya menguntungkan para petani kaya. Kedua, setelah anggaran untuk PKH, KIS, KIP, dan AUTP meningkat, jangkauan program-program ini dapat diperluas seiring dengan perbaikan terhadap berbagai infrastruktur pendukungnya guna memastikan bantuan yang diberikan akan tepat sasaran. Ketiga, pemerintah dapat mengembangkan kebijakan asuransi sebagai alat untuk melindungi petani berbagai jenis tanaman pangan dari risiko gagal panen. Bantuan asuransi harus dikomunikasikan secara jelas kepada para petani, proses pelaksanaannya harus disederhanakan, dan jangkauan ke area-area terpencil harus diperluas dengan bermitra dengan berbagai perusahaan asuransi swasta yang memiliki jaringan cabang dan agen yang luas.

Full text
Show more arrow
 

Metrics

  • Eye Icon 1266 views
  • Download Icon 1715 downloads
Metrics Icon 1266 views  //  1715 downloads