Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia: Membangun Poros Kekuatan
Март 19, 2021  //  DOI: 10.35497/340636
Arianto Patunru, Andree Surianta, Pingkan Audrine

Metrics

  • Eye Icon 0 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 0 views  //  0 downloads
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia\u002DAustralia: Membangun Poros Kekuatan Image
Abstract

Pada Januari 2020 parlemen Indonesia meratifikasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif
Indonesia-Australia atau Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IACEPA) yang mulai berlaku pada Juli 2020. Cikal bakal perjanjian ini adalah pada tahun 2005 ketika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia John Howard, yang kala itu
tengah menjabat, setuju untuk meningkatkan hubungan dagang antara kedua negara. Negosiasi
dimulai pada 2010, dan setelah hampir satu dekade, kedua pemerintah menandatangani
perjanjian pada Maret 2019.
IA-CEPA muncul di saat yang tepat. Selagi kebanyakan negara tengah dalam masa pemulihan
dari Krisis Finansial Global 2007-2008, Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
terlibat dalam perang dagang. Eskalasi tarif dan hambatan perdagangan lain yang diterapkan
oleh dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar tersebut akhirnya memaksa negara-negara
lain untuk menyesuaikan praktik perdagangan mereka. Kemudian datang pandemi Covid-19
yang mengganggu perdagangan dunia dan menyebabkan hampir semua negara mengambil
langkah pembatasan untuk mencegah penyebaran infeksi virus. Perdagangan internasional
diperkirakan jatuh sebesar 30% dan Penanaman Modal Asing (PMA) juga turun hingga sebesar
40% di tahun 2020.
Seperti negara lainnya, Indonesia dan Australia juga mengalami resesi ekonomi dengan
perkiraan nilai pertumbuhan tahun 2020 sebesar -1,5% dan -4%. Keduanya bergantung pada
belanja negara untuk menjaga ekonomi tetap berjalan selagi tetap melaksanakan protokol
kesehatan. Setelah pandemi berakhir, Indonesia dan Australia akan fokus membangun kembali
ekonomi mereka. IA-CEPA dapat memfasilitasi upaya ini.
Perekonomian kedua negara sangat bergantung pada ekspor sumber daya alam ke RRT, sehingga
perdagangan bilateral dan volume investasi selalu rendah meskipun kondisi geografis berdekatan.
Perdagangan global telah berkembang pesat, didorong oleh rantai produksi yang secara global
juga meningkat. Negara-negara berpartisipasi dalam produksi internasional ini disebut-sebut
sebagai mengambil bagian dalam rantai nilai global. Pandemi mungkin memperlambat langkah
menuju produksi global, namun tidak akan menghentikan atau menggagalkannya. Dibandingkan
dengan banyak negara, keterlibatan Indonesia dan Australia dalam rantai nilai global masih
rendah. Meningkatkan keterlibatan dalam rantai nilai global dapat mengakselerasi pemulihan
ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada RRT.
Oleh karena itu, kami melihat ada peluang untuk menggunakan IA-CEPA dengan dua cara.
Pertama, kedua negara mengambil peluang keuntungan dari perjanjian ini untuk fokus pada
hal yang sifatnya saling melengkapi atau komplementer. Mengingat di tingkat agregat ekspor
kedua negara sama-sama bergantung pada sumber daya alam, maka sifat komplementer
ini cenderung dapat ditemukan pada tingkatan produksi yang berbeda. Misalnya, Australia
mengekspor gandum ke Indonesia sebagai bahan industri makanan Indonesia yang kemudian
diekspor lagi ke pasar yang lain.
7
Maka dari itu, Indonesia dan Australia sebaiknya memprioritaskan kerja sama dengan
model poros kekuatan (Powerhouse) atau produksi bersama (Joint Production), yaitu dengan
menggunakan bahan mentah dari Australia untuk komoditas ekspor manufaktur Indonesia atau
sebaliknya. Tujuannya adalah untuk menargetkan pasar regional dan dunia alih-alih berfokus
hanya pada arus perdagangan dan investasi dua arah.
Kedua, baik Indonesia maupun Australia sebaiknya mengambil keuntungan dari luasnya cakupan
perjanjian ini guna memastikan bahwa kerja sama tidak terbatas hanya pada perdagangan dan
investasi, tetapi juga untuk mendorong reformasi domestik. Indonesia secara khusus dapat
menggunakan IA-CEPA untuk memfasilitasi reformasi yang tengah berjalan setelah pengesahan
UU Cipta Kerja 2020. Reformasi tersebut harus termasuk memperbaiki iklim regulasi, terutama
di sektor manufaktur makanan dan minuman serta pendidikan tinggi.
Dalam laporan ini kami menyoroti isu-isu penting serta tantangan dalam IA-CEPA dengan
menggunakan kasus-kasus yang ada pada dua area utama perjanjian ini: perdagangan di sektor
manufaktur makanan dan minuman serta investasi di sektor pendidikan tinggi. Berdasarkan
analisa kami, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan:
1. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebaiknya tidak mengimplementasi
strategi substitusi impor untuk industri manufaktur makanan dan minuman. Strategi
substitusi impor di sektor ini akan menghambat perkembangan ‘poros kekuatan’
industri makanan dan minuman Indonesia-Australia untuk terlibat dalam rantai nilai
global.
2. Kementerian Pertanian (Kementan) sebaiknya merevisi Pasal 7 (1) Permentan Nomor
2 Tahun 2017 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah
Negara Republik Indonesia dengan menghilangkan “kebijakan rasio ternak 1:5”, yang
menghambat penggunaan penuh kuota yang telah ditingkatkan dalam IA-CEPA, dan
akan mengganggu pengembangan sebuah ‘poros kekuatan’ di sektor daging olahan.
3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebaiknya memiliki strategi
global untuk pendidikan tinggi dengan bekerja sama dengan Departemen Imigrasi
guna menyederhanakan prosedur aplikasi pelajar internasional. Terakhir, pemerintah
Indonesia sebaiknya mengintegrasikan Izin Belajar, Visa Izin Tinggal Terbatas (VITAS),
dan Izin Tinggal Terbatas (E-ITAS) menjadi sebuah visa pelajar tunggal dan juga
menghapus persyaratan izin keluar.
4. Pemerintah Indonesia dan universitas di Australia seharusnya menggunakan IA-CEPA
sebagai proyek percobaan di mana kedua belah pihak bisa mendapatkan pelajaran
tentang investasi internasional di sektor pendidikan tinggi. Tahap pembukaan awal
dengan hanya satu negara dapat membantu pembuat kebijakan mengidentifikasi
hambatan investasi yang tidak terduga sekaligus juga meminimalkan risiko kegagalan
membuka sektor ini lebih lanjut bagi investor asing.

Full text
Show more arrow
 

Metrics

  • Eye Icon 0 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 0 views  //  0 downloads