Dampak Negatif Kebijakan Perdagangan Non-Tarif terhadap Kesejahteraan Masyarakat Indonesia
Апрель 14, 2021  //  DOI: 10.35497/341330
Felippa Amanta, Iqbal Dawam Wibisono

Metrics

  • Eye Icon 563 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 563 views  //  0 downloads
Dampak Negatif Kebijakan Perdagangan Non\u002DTarif terhadap Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Image
Abstract

Indonesia telah membuat kemajuan dalam pengurangan kemiskinan dan peningkatan indikator kesehatan dan nutrisi. Namun, kemajuan ini jadi terhambat karena mahalnya harga pangan. Proporsi pengeluaran untuk pangan mencapai hampir setengah dari pengeluaran rata-rata orang Indonesia. Selain itu, lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu mengonsumsi makanan yang bernutrisi dan tingginya harga pangan ini berkontribusi terhadap angka kemiskinan. Diperkirakan untuk setiap kenaikan harga 1%, jumlah kepala yang masuk kategori prasejahtera juga meningkat sebanyak 1%.

Kontributor utama tingginya harga pangan adalah prevalensi dari pemberlakuan hambatan nontarif atau non-tariff measures (NTM) untuk perdagangan pangan dan pertanian internasional. Di tahun 2020, tercatat ada 466 hambatan non-tarif yang diberlakukan untuk komoditas pangan dan pertanian. Hambatan tersebut termasuk di antaranya restriksi kuantitatif (QR) dan standar Sanitasi dan Phytosanitary (SPS), inspeksi pra-pengiriman, dan hambatan teknis perdagangan (TBT). Marks (2017) menghitung bahwa hambatan non-tarif untuk beras berdampak setara denganvtingkat tarif proteksi efektif (effective rate of protection atau ERP)1 sebesar 67,2%, sementara itu hambatan non-tarif untuk produk daging berdampak setara sebesar 37,4%. Faktor terbesar dari perbedaan harga tersebut bisa dikaitkan dengan restriksi kuantitatif atau kuota (QR).

Penghapusan hambatan non-tarif untuk beras dan daging diperkirakan akan mampu mengurangi angka kemiskinan sebesar 2,8 poin persentase. Penghapusan hambatan non-tarif untuk beras akan memberikan dampak terbesar (senilai 2,52 poin persentase), sementara penghapusan hambatan non-tarif untuk daging akan berdampak lebih kecil, yaitu mengurangi kemiskinan hanya sebesar 0,21 poin persentase. Dampak penghapusan hambatan perdagangan terhadap angka kemiskinan diperkirakan lebih besar di area pedesaan dan pada provinsi yang paling miskin, terutama di Nusa Tenggara Timur (-7,28 poin persentase), Papua Barat (-4,87 poin persentase), dan Maluku (-4,17 poin persentase). Sementara itu, penghapusan kuota akan paling berpengaruh dalam mengurangi angka kemiskinan. Penghapusan kuota untuk impor beras saja akan mengurangi insiden kemiskinan di Indonesia sebesar 2,31 poin persentase, dan pencabutan kuota untuk beras dan daging akan mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 2,6 poin persentase.

Ketimpangan, dihitung dengan koefisien Gini, juga diperkirakan akan menurun jika hambatan non-tarif untuk beras dan daging dihapus, namun dampaknya kecil, yaitu hanya berkurang sebesar 1,76%. Selain itu, penurunan tersebut juga terjadi lebih nyata di daerah pedesaan (2,5%), jika dibandingkan dengan di daerah perkotaan (0,98%). Setelah itu, konsumsi pangan, dihitung dengan melihat pengeluaran untuk beras dan daging, akan meningkat.

Estimasi tersebut menggambarkan mengapa Indonesia perlu mengurangi hambatan non-tarif untuk makanan dan komoditas pertanian guna mendukung upaya pengurangan kemiskinan dan perbaikan gizi masyarakat. Menghilangkan kuota dan menggantinya dengan perizinan impor otomatis adalah dua perubahan yang diharapkan dapat memberikan dampak positif terbesar. Membebaskan perdagangan pangan harus disertai dengan peningkatan persaingan antar importir, perbaikan sistem untuk memfasilitasi proses impor, dan kebijakan pertanian inovatif untuk meningkatkan persaingan produsen domestik.

Full text
Show more arrow
 

Metrics

  • Eye Icon 563 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 563 views  //  0 downloads