Hambatan dalam Mewujudkan Konsumsi Pangan yang Lebih Sehat Kasus Kebijakan Perdagangan dan Pertanian
January 25, 2023  //  DOI: 10.35497/559039
Aditya Alta, Rachma Auliya, Azizah Nazzala Fauzi

Metrics

  • Eye Icon 187 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 187 views  //  0 downloads
Hambatan dalam Mewujudkan Konsumsi Pangan yang Lebih Sehat Kasus Kebijakan Perdagangan dan Pertanian Image
Abstract

Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat telah menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Angka balita stunting (pendek) di Indonesia yang mencapai 24% termasuk cukup tinggi dan patut mendapatkan perhatian serius. Keragaman pangan yang dikonsumsi anak-
anak penting untuk ditingkatkan demi mengurangi angka dan prevalensi stunting. Sayangnya, skor Pola Pangan Harapan (PPH) dan pasokan pangan mengungkap bahwa konsumsi pangan masyarakat Indonesia sehari-hari pada umumnya sangat didominasi oleh nasi dan kurang mengandung sumber karbohidrat dan protein alternatif lainnya. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli makanan sehat akibat lonjakan harga pangan global membuat pemenuhan gizi semakin sulit dicapai.

Memahami pentingnya pemenuhan gizi bagi modal manusia, pemerintah telah menetapkan target penurunan angka stunting menjadi 14% pada 2024. Serangkaian strategi dan rencana aksi telah dikembangkan untuk mengoordinasikan upaya antar kementerian: Strategi Nasional
Percepatan Penurunan Stunting, Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN-PASTI) 2021–2024, dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2020–2024. Berbagai target dan kegiatan dalam dokumen-dokumen tersebut mencerminkan sifat multidimensi dari isu-isu pangan dan gizi yang ada, tetapi mengabaikan dampak kebijakan perdagangan pada keterjangkauan pangan dan bias kebijakan pertanian terhadap sejumlah komoditas pokok, terutama beras.

Makalah ini membahas bagaimana kebijakan-kebijakan perdagangan dan pertanian yang berlaku di Indonesia justru menghambat terwujudnya konsumsi pangan yang lebih sehat. Izin impor/ekspor, restriksi kuantitatif (kuota), dan hambatan-hambatan perdagangan non tarif lainnya dapat menaikkan harga pangan domestik dengan menambah biaya impor ke Indonesia. Pada akhirnya, para konsumenlah yang menanggung biaya-biaya tambahan ini, termasuk mereka yang hidup dalam kemiskinan, sehingga makanan sehat menjadi semakin kurang terjangkau. Bias terhadap produksi dan konsumsi beras menjadi dasar penyusunan berbagai kebijakan dan program pertanian, baik yang baru dibuat maupun yang telah lama berlaku, termasuk program swasembada beras, pembukaan lahan besar-besaran untuk sawah, program bantuan pangan berbasis beras, dan subsidi pupuk yang sebagian besar ditujukan untuk tanaman padi.

Untuk menangani hambatan-hambatan ini, Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting, RAN-PASTI, dan RAN-PG perlu memandatkan tinjauan sistematis dan penilaian dampak atas kebijakan-kebijakan perdagangan dan pertanian. Tinjauan dan penilaian ini selayaknya menjadi langkah pertama untuk menghapus hambatan-hambatan non-tarif yang tidak perlu guna meningkatkan keterjangkauan pangan di Indonesia dan menciptakan kebijakan pertanian yang tidak condong pada suatu komoditas tertentu. Dengan demikian, para petani dapat menanggapi sinyal pasar dengan baik dan pemerintah dapat menghindari insentif dan investasi yang bias terhadap produksi beberapa tanaman pokok saja, yakni demi meningkatkan keragaman pasokan pangan Indonesia.

Full text
Show more arrow
 

Metrics

  • Eye Icon 187 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 187 views  //  0 downloads