Pengalaman Internasional Terkait Innovative Credit Scoring: Pelajaran bagi Indonesia
August 15, 2023  //  DOI: 10.35497/564017
Trissia Wijaya, Muhammad Nidhal

Metrics

  • Eye Icon 0 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 0 views  //  0 downloads
Pengalaman Internasional Terkait Innovative Credit Scoring: Pelajaran bagi Indonesia Image
Abstract

Sekitar 51% penduduk dewasa Indonesia masih masuk ke dalam kategori unbanked (belum tersentuh layanan keuangan atau perbankan). Mereka tidak dapat memenuhi persyaratan formal untuk membuktikan kelayakan kredit sehingga tidak bisa mengakses layanan lembaga
keuangan konvensional. Untuk mengatasi hambatan ini, penilaian kredit inovatif (innovative credit scoring atau ICS) hadir sebagai sebuah solusi inklusi keuangan. Para penyedia layanan digital telah mengembangkan berbagai instrumen untuk menghimpun data-data alternatif yang relevan guna menyediakan layanan kepada segmen masyarakat yang lebih luas.

Namun, janji ICS untuk meningkatkan inklusi keuangan kepada populasi yang belum tersentuh layanan keuangan bukanlah tanpa peringatan. Pasalnya, ICS membawa sejumlah risiko besar, seperti ketidakakuratan data, kurangnya privasi data, risiko siber, serta potensi diskriminasi. Seperti halnya inovasi keuangan digital baru, diperlukan kejelasan lebih lanjut mengenai regulasi, penggunaan teknologi, dan perlindungan data.

Meskipun industri ini masih baru dan mulai bertumbuh di Indonesia, ICS telah digunakan secara luas selama bertahun-tahun di pasar yang telah berkembang, seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Melanjutkan makalah kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) berjudul “Berkembangnya Sistem Innovative Credit Scoring di Indonesia”, makalah diskusi ini mengupas pendekatan terhadap penilaian kredit di Tiongkok dan AS guna menjadi bahan pembelajaran bagi Indonesia.

Melihat pengalaman Tiongkok, bisa dikatakan bahwa penggunaan data secara berlebihan dan isu transparansi masih menjadi hambatan utama dalam sistem penilaian yang kokoh. Sistem kredit sosial yang diterapkan bersama dengan ICS, dengan data yang dibagikan secara besar-besaran kepada pihak ketiga, menunjukkan perlunya rantai akuntabilitas yang jelas. Tiongkok berada dalam posisi yang sulit, atau bahkan mustahil karena kepentingannya untuk mengumpulkan data dan menyembunyikan tujuan penggunaannya berlawanan dengan kewajiban negara terhadap warganya untuk meregulasi serta mengontrol risiko-risiko terkait privasi, keamanan siber, dan kemampuan pengguna untuk mengendalikan data mereka sendiri.

Sementara itu, pengalaman industri ICS di AS dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia agar menyusun kebijakan dan mengembangkan praktik yang efektif. Di AS, diskursus kebijakan yang relevan tidak hanya berfokus pada kekuatan pasar dan privasi data, tetapi juga tata kelola algoritma dan bias sosial-ekonomi. Secara khusus, isu yang berkenaan dengan bias sosial- ekonomi dan pengambilan keputusan algoritmis masih belum terlalu diperhatikan di Tiongkok dan Indonesia. Baik Tiongkok maupun Indonesia memiliki masyarakat minoritas dalam jumlah besar yang dapat dirugikan oleh akses yang diskriminatif terhadap layanan keuangan akibat adanya bias kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) dan pembelajaran mesin (machine learning).

Dengan mempelajari pengalaman-pengalaman internasional tersebut, kita dapat memahami dengan lebih baik berbagai risiko dan tantangan terkait solusi-solusi digital inovatif yang lahir dan tumbuh pesat di Indonesia.

Full text
Show more arrow
 
More from this repository
Reformasi Kebijakan pada Industri Unggas di Indonesia
Reformasi Kebijakan pada Industri Unggas di Indonesia Image
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia: Membangun Poros Kekuatan
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia\u002DAustralia: Membangun Poros Kekuatan Image
🧐  Browse all from this repository

Metrics

  • Eye Icon 0 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 0 views  //  0 downloads